Kamis, 05 Juni 2008

bukan teknologi tapi skill

Paham nggak, bikin mahal 4-tak itu, tenaga tiga kali lipat dari standar. Dampaknya, komponen cepat rontok. Bentar-bentar ganti spare-parts press. Tim berdana besar, pasti sanggup, walau meringis. Yang dananya kecil, akhirnya tersingkir. Ya sudah, sepi tuh balap motor. Maka, secepatnya regulasi direvisi. Jika tidak, Indonesia kehilangan regenerasi pembalap.Terlebih one make race alias OMR. Mereka diberi kebebasan bikin aturan sesuai visi dan misi promosi merek. Toh, regulasi pengetatan, bukan lantas bikin aroma persaingan meredup. Justru lebih menarik. Persaingan rata, rapat, dan bikin deg-degan yang nonton. Dibanding hanya satu-dua pembalap melejit sendirian tanpa lawan. Itu malah gregetnya kurang. Kalau begini, bukan hanya jumlah starter yang terkikis. Penonton menyusut. Sponsor juga bocen, ah. Ini nyata di ronde ke-VI Yamaha Cup Race, Tawang Mas Semarang, Jawa Tengah, Sabtu-Minggu (15-16 Juli) kemarin. Persaingan barisan kedua lebih mendebarkan. Itu setelah ditinggal lari Hokky dan Harlan dari Yamaha SKF Fuchs Star Motor, Jakarta. Misal underbone 4-tak 125 cc terbuka, Ardhi Satya yang pemula konsisten menguntit di belakang Doni Tata. Mata penonton lebih asyik menyimak pertarungan baris kedua ini, ketimbang Harlan dan Hokky yang jauh, jauh, jauh di depan, tanpa lawan.Itu karena teknologi mereka rata. “Jupiter Ardhi memakai klep standar Shogun. Head cuma ubah sitting klep. Magnet standar, dan CDI Rextor. Dengan taktik ini, komponen lebih awet. Tapi, akan lebih awet kalau regulasi dibatasi,” kata Waskito ‘Merit’ Ngubaini, mekanik Yamaha Pertamina Ardhi Satya. Setali tiga uang, semplakan Doni Tata mengusung CDI standar Vega. Klep in juga beda tipis dengan Ardhi, Doni pake payung klep diameter 26,5 mm. “Yang 110 cc malah magnet dan CDI standar Vega,” aku Kiswadi, mekanik sekaligus ortu Doni Tata.Sebagian kalangan balap motor, ingin mencontek speksifikasi Jupiter Doni Tata. Maksudnya, modifikasi ini, jadi patokan regulasi masa depan balap 4-tak. Terbukti, komponen Doni paling irit. “Jika pake spek ini, komponen tahan sampai lima event. Pada event ke-4 baru tahap pengecekan, belum tentu ada yang diganti,” tambah Mas Kis, begitu Kiswadi dipanggil istrinya alias mama Doni. Kiswadi terus membandingkan memakai diameter klep 28 mm. Katanya, menggunakan klep ini, “Laher kruk-as pasti oblak hanya satu event. Komponen lain, hanya tahan dua event. Kian parah pada 125 cc dengan karbu 28 mm plus magnet racing, setiap race wajib ganti ring piston, laher, dan sebagainya,” kekeh Kiswadi, soal aturan mahal balap motor 4-tak. Toh, meski ditinggal Hokky-Harlan di event kemarin, Jupiter yang setara Doni bukan berarti pelan. Tetap asyik ditonton. QTT mereka di sirkuit Tawang Mas masih di kisaran 50 detik. Saat lomba mereka mengandalkan skill membalap, bukan skill mesin. Sebab, sampai finish di depan belum jelas siapa pemenangnya. Lantas, dalam keterbatasan aplikasi teknologi itu, Kiswadi mengaku motor Doni njerit sampai 15,3 ribu rpm. “Motor saya juga masih bisa sampai 14 ribu rpm,” tambah Merit yang setuju dengan pembatasan regulasi 4-tak di masa mendatang akibat pesanan pada bengkelnya terus menyusut.Dengan keterbatasan itu, kreasi mekanik jadi tumpuan memaksimalkan tenaga. “Asal diadu dalam aturan yang sama, saya berani motor bikinan saya akan melawan. Kalau seperti sekarang, sudah ketebak. Saya kalah modal. Sulit ngejarnya,” tutur Rinut, mekanik Ribut Motor, Semarang.Makanya, pembatasan regulasi kayaknya memang bisa jadi solusi agar balap enggak makin surut. Ingat, pertarungan yang kompetitip salah satu faktor memotivasi pembalap dan tim baru. “Kalau seperti sekarang ini, ikut kejurnas malas. Sudah pasti kalah motor. Soalnya bukan adu skill,” ungkap Philipus, pemula asal Semarang.